Sabtu, 29 November 2008
Menakar Hubungan Kyai-Santri
Arus modernisasi dewasa ini disadari ataupun tidak telah membawa berbagai macam perubahan hampir di semua lini kehidupan. Salah satu perubahan konkret adalah gencarnya penetrasi teknologi yang semakin memungkinkan manusia menjadi lebih mudah melakukan aktivitas sehari-hari. Teknologi seperti halnya alat komunikasi telah mampu mengubah persepsi masyarakat akan batas-batas ruang teritorial yang selama ini dianggap hampir tak terjangkau.
Kecanggihan teknologi telah memberikan tawaran kemudahan bagi manusia sehingga mereka bisa secara bebas berhubungan atau berkomunikasi dengan siapapun tanpa harus bertemu di manapun mereka berada. Pada tataran tertentu, kenyataan ini dapat memberikan efek negatif yang pada gilirannya memiliki kecenderungan berkuranganya rasa kesetiakawan. Manusia merasa bisa hidup dalam dunianya sendiri dan semakin tidak membutuhkan kehadiran orang lain.
Pada sisi yang lain, modernisasi juga telah secara pelan tapi pasti mengubah kultur lokal menjadi lebih terbuka dengan mengikuti perubahan yang terjadi. Pada titik ini, budaya lokal yang dianggap sakral oleh masyarakat dan selalu dijadikan pijakan dalam setiap tindakannya lambat laun mengalami pergeseran. Fakta ini mengindikasikan bahwa pada dasarnya manusia bersikap dinamis, sehingga arus perubahan yang masuk tidak direspons dalam bentuk resistensi, namun sebaliknya, mereka mencoba berpikiran lebih terbuka dengan tradisi baru yang dianggap memberikan makna positif. Lebih jauh fakta perubahan juga memungkinkan mereka untuk tidak tunduk pada tradisi lama yang dianggap tidak mendukung kemajuan.
Pesantren sebagai lembaga Islam tradisional tertua di Indonesia juga telah melakukan transformasi. Perubahan telah menyentuh institusi ini. Pesantren yang pada dasarnya merupakan subkultur dalam kehidupan setelah masyarakat, telah bergeser perannya tidak sekedar lembaga yang mencetak kyai atau ulama dan intelektual muslim yang diharapkan dapat melanjutkan cita-cita para pendahulunya untuk memajukan umat Islam secara keseluruhan.
Perubahan dimaksud salah satunya dapat kita lihat dari pola hubungan kyai-santri yang pada awalnya kita kenal bersifat patron-client yang mengandaikan pola hubungan guru-murid. Sebagai guru, kyai tidak hanya dikenal sebagai sosok yang mumpuni dalam ilmu pengetahuan agamanya serta memiliki akhlakul karimah, namun pada sisi yang lain kyai juga mempunyai pengaruh yang sangat luas di dalam masyarakat melalui kharisma yang mereka miliki. Tak pelak, kyai merupakan figur dambaan umat dan senantiasa mendapat tempat yang mulia dan tinggi dalam struktur masyarakat.
Sebaliknya, sebagai seorang murid, santri merupakan elemen dalam tradisi pesantren yang kedudukannya lebih rendah dari kyai. Sebagai pengikut, santri harus senantiasa taat, tawadu dan hormat kepada gurunya. Santri dalam kehidupan sehari-harinya harus senantiasa mengikuti apa yang dititahkan oleh seorang kyai.
Mengapa santri harus tunduk dan patuh pada kyai? Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa kyai merupakan sumber ilmu pengetahuan di pesantren dan penjaga moral santri, sehingga tidak patuh terhadap kyai berarti mereka telah merusak tradisi pesantren yang telah dibangun ratusan tahun lamanya, dan hal ini akan dianggap sesuatu yang tidak wajar.
Bagaimanapun, arus modernisasi sebagaimana disinggung di atas telah sedikit banyak membawa pergeseran pada peran kyai dan santri di pesantren sehingga kultur yang selama ini tumbuh subur kemudian mengalami degradasi akibat perkembangan global.
Perubahan relasi kyai–santri dapat kita lihat dalam ketundukan seorang santri yang mulai berkurang sebagai akibat oleh bergesernya peran kyai di dalam pesantren maupun masyarakat. Sosok kyai yang dahulu disegani dan berpengaruh karena memiliki kharisma yang jarang dimiliki orang lain, mulai bergeser ketika mereka merambah ke wilayah politik dengan ikut berperan dalam kegiatan politik praktis.
Pada sisi yang lain, seiring dengan demokratisasi di Indonesia dan kesempatan pendidikan yang tinggi oleh santri, banyak komunitas santri yang mulai tercerahkan. Hal ini bisa kita lihat dari cara berpikir mereka yang semakin kritis, independen dan kreatif. Hal ini tenyata berimbas terhadap hubungan kyai-santri yang tidak lagi seperti dahulu di mana saat ini santri telah berani mengkritisi apapun yang dilakukan kyainya yang dianggap melenceng.
Kharisma yang dianggap sebagai senjata ampuh untuk mempengaruhi santri juga pada tataran tertentu tidak lagi menemukan relevansinya pada saat sekarang. Sehingga praktis, kyai sekarang sudah mulai kehilangan pengaruhnya akibat perannya dalam politik praktis. Konflik Gusdur-Muhaimin dalam tubuh PKB bisa kita analogikan sebagai salah satu contoh melenturnya hubungan kyai-santri sebagai akibat ratio excess irratio, atau cara berfikir logis dalam kerangka rasionalitas, yang menjadi faktor penting dalam memutuskan sesuatu dalam hubungan kekerabatan sebagai dominasi pengaruh kharismatik seseorang.
Fatkhuri, MA
Mahasiwa Pasca Sarjana Bidang Kebijakan Publik Australian National University (ANU) Canberra, Australia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar